ASBAB AL-NUZUL DALAM PENAFSIRAN AL-QUR'AN
Oleh: Dr.H. Maragustam Siregar, M.A.
- PENGANTAR
Dalam makalah ini sama
sekali tidak beranggapan bahwa tulisan ini telah menguraikan dan
mengungkapkan secara rinci semua pengetahuan yang berhubungan dengan Asbab al-Nuzul. Studi Asbab
al-Nuzul sangat luas dan melibatkan banyak ilmu. Sebagaimana yang akan kita
lihat nanti bahwa ia juga berkaitan dengan konteks historis turunnya wahyu.
Penggunaan Asbab al-Nuzul
dalam
penafsiran al-Qur'an bukanlah semuanya merupakan "kata putus" yang
harus digunakan, sebagaimana mungkin selama ini berjalan terutama para ulama Salaf,
tetapi dia sebagai perangkat yang membantu dalam memahami maksud ayat. Dalam
pembahasan ini kami merasa belum cukup kalau hanya menyajikan
contoh-contoh tentang kriteria yang ketat dan cermat yang ulama dulu letakkan
sebagai upaya menyaring riwayat-riwayat hadis shahih mengenai Asbab
al-Nuzul, tetapi juga sejauh
mana penggunaannya bagi para mufassir.
AI-Zarkasyi menjelaskan bahwa orang
yang mengatakan bahwa Asbab alNuzul itu
tidak penting dalam rangka pemahaman ayat-ayat al-Qur'an adalah merupakan pandangan yang
salah.[1] Tetapi para mufassir
justru sangat memperhatikan Asbab al-Nuzul, sehingga ada yang mengkhususkan karya-karyanya dalam bidang itu yaitu antara lain Ali bin
al-Madiniy Syek al-Bukhari, al-Mahidi,
al-Sayuthi dan lain-lain. Karena dengan memahami Asbab al Nuzul berpengaruh besar dalam memahami kandungan ayat.
Dalam tulisan ini difokuskan tentang apa itu Asbab al-Nuzul dan bagaimana
Asbab al-Nuzul itu. Dalam analisa dipakai tata pikir "reflektif-fungsional",
dan sebagai sumber data diambil dari berbagai kitab yang ada kaitannya
dengan Asbab al-Nuzul.
B. PENGERTIAN ASBAB AL-NUZUL
Istilah
Asbab al-Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab yang berarti sebab-sebab,
dan al-Nuzul berarti turun. Apabila dikaitkan dengan al-Qur'an , maka asbab
al-nuzul berarti sebab-sebab turunnya al-Qur'an. Hal ini tidak berarti bahwa asbab
al-nuzul berlaku sebab akibat. Artinya tanpa ada sebab, maka ayat tidak turun.
Karena ayat al-Qur'an sendiri sudah ada di haderat Allah swt. Al-Sayuthi[2] mengemukakan bahwa asbab al-nuzul ialah sesuatu
yang pada hari-hari terjadinya ayat
al-Qur'an diturunkan. Maksud "sesuatu" ialah peristiwa-peristiwa yang pada umumnya berupa peristiwa perseorangan
yang terjadi di zaman Nabi, dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada
beliau. Dari definisi itu tergambar
bahwa belum adanya kaitan antara latar belakang turunnya ayat dengan kandungan ayat yang mengomentarinya. Menurut
al-Zarqani[3] bahwa asbab alnuzul
ialah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya satu ayat atau beberapa ayat al-Qur'an
turun untuk membicarakannya atau menjelaskannya. Dari definisi tersebut tergambar bahwa dalam asbab
al-nuzul ada gambaran dari
ayat untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat. Berarti kalau tidak ada peristiwa berarti
ada ayat-ayat al-Qur'an yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Tentu hal ini
menyulitkan pemahaman ayat.
Fazlur Rahman menjelaskan
apa yang dikemukakan oleh Zarqany hanyalah merupakan asbab al-nuzul mikro, yang dalam penafsiran al-Qur'an harus dibantu dengan asbab al-nuzul makro, yaitu
latar belakang yang berupa situasi sosio kultural religius
masyarakat Arab ketika al-Qur'an diturunkan.[4] Yang senada
dengan itu ialah al-Syatibi (tt.:347) bahwa asbab al-nuzul ialah situasi dan
kondisi. Dengan demikian maka pengertian asbab-al-nuzul itu dapat
dibagi dua. Pertama bahwa asbab al-nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi
menjelang ayat atau ayat-ayat dan ayat tersebut mengomentari peristiwa itu. Definisi
ini kita sebut asbab al-nuzul khusus. Maksud "menjelang" ialah sebagai
peristiwa "singkat" menjelang turunnya ayat atau beberapa ayat.
Biasanya ditandai
dengan kata "al-fa" atau
dengan kata "bi sabab kadza."
Dari definisi tersebut dapat
kita ambil suatu pengertian bahwa ada sebagian ayat-ayat alQur'an yang tidak
ada asbab al-nuzulnya.
Kedua, bahwa asbab
al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, yang
ayat-ayat tersebut mengandung hukumnya atau maknanya dari peristiwa-peristiwa
tersebut. Maksud "peristiwa-peristiwa di masa Nabi adalah peristiwa yang
terjadi pada masa Nabi atau peristiwa yang terjadi jauh setelah Nabi wafat, atau peristiwa yang terjadi jauh sebelum Nabi lahir.
Biasanya ditandai dengan kata
"sabab fi kadza" Definisi ini kita sebut saja asbab al-nuzul `Am. Dari definisi ini semua ayat
ada asbab al-nuzulnya. Karena seluruh wahyu yang turun pasti menyentuh salah satu aspek kehidupan pada masa Nabi. Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa
telah dikenal sebagian dari kebiasaan sahabat dan tabi'in, apabila berkata: "nazalat
hadzihi al-ayat fi kadza", memberi makna ayat tersebut mengandung hukum ini, tidak karena
"ini" sebab turunnya ayat.[5]
Ada
beberapa hal yang pasti berkaitan dengan asbab al-nuzul yaitu (1) syakhsiyat
al-nuzul ialah subyek yang pertama kali menjadi sasaran ayat, tetapi
karena keumuman ungkapan al-Qur'an atau didorong oleh kesopanan, maka nama
terang subyek nuzul tidak jelas, (2) mawathin al-nuzul yaitu tempat
Rasulullah berada waktu ayat turun, (3) asbab al-nuzul [peristiwa yang
mengiringi turunnya
ayat] (4) pokok permasalahan (haditsatun
nuzul). Di antara yang empat itu yang paling penting jadi
pertimbangan ialah asbab
al-nuzul. Kerena dengan mengetahui peristiwa itu akan mempermudah
memahami kandungan ayat.
C. PENENTUAN ASBAB
AL-NUZUL
Dalam
mengumgkapkan asbab al-nuzul, para perawi bermacam-macam caranya. Ada
yang mengatakannya secara
tegas menyatakan bahwa suatu peristiwa
tertentu menjadi sebab turunnya ayat. Ada yang tidak tegas tetapi menyebutkan dengan "fa" ta'qib (yang berarti kemudian). Ada yang mengatakannya bahwa Nabi ditanya, kemudian wahyu
turun dan beliau memberi jawaban
dengan turunnya wahyu itu. Dan di saat lain ada mengatakan bahwa suatu ayat diturunkan mengenai ... Dan
menyebutkan suatu peristiwa atau pengertian
tertentu.[6] Dan redaksi
asbab an-nuzul tersebut bahwa redaksi yang pasti asbab an-nuzul ialah (1) hadatsa
kadzaa (2) suila rasululullah saw ‘an kadzaa fanazalat al-ayah. Sedangkan
redaksi yang mungkin asbab an-nuzul dan dimungkinkan pula kandungan ayat
atau hukum adalah: (3) nazalat hadzihi al-ayah fii kadzaa (4) ahasabu
hadzihi al-ayah nazalat fii kadzaa (5) Maa ahasabu hadzihi al-ayah
nazalat illaa fii kadzaa.
Ungkapan yang pertama dan kedua merupakan sebab-sebab
yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al-Qur'an. Sedangkan cara yang ketiga,
keempat dan kelima adalah mengandung dua kemungkinan, yaitu (1) menjelaskan
asbab al-nuzul atau (2) menjelaskan kandungan hukum dalam ayat atau sebagai penafsiran.
Ulama tafsir menetapkan
bahwa asbab al-nuzul itu tidak boleh ditentukan dengan jalan ijtihad,
tetap harus melalui riwayat yang shahih dari mereka yang mengalami
atau mencarinya.[7] Dalam hal ini
al Shabuni menjelaskan bahwa mereka itu ialah para sahabat Nabi,
tabi'in dan orang-oarang lain yang memperoleh pengetahuan dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.[8]
Para sahabat Nabi adalah
umat generasi pertama yang menyaksikan masa turunnya al-Qur'an dan merupakan kemestian jika
di antara mereka banyak tahu tentang asbab
al-nuzul. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa asbab al-nuzul yang bersumber dari mereka dikategorikan sebagai
hadis yang musnad[9] yaitu hadis yang
sanadnya sampai kepada Nabi.
Sedangkan tabi'in merupakan periode umar Islam kedua
yang belajar kepada para sahabat dan tidak menyaksika masa turunnya al-Qur'an.
Karenanya riwayat asbab al-nuzul dari mereka berkedudukan sebagai hadis mursal[10] yaitu hadis yang gugur di akhir sanadnya yakni seseorang setelah tabi'in. Sebab
mereka itu meriwayatkan secara langsung peristiwa yang terjadi di masa Nabi tanpa menyebutkan orang pertama yang menyaksikan masa
turunnya al-Qur'an itu yaitu para
sahabat.
Al-Suyuthi menjelaskan bahwa riwayat tabi'in baru
dapat diterima apabila memenuhi starat-syarat sebagai berikut: (1) sanadnya
shahih sampai kepada tabi'in yang menjadi sumber peristiwanya mengenai
asbab al-nuzul, (2) dia termasuk ulama tafsir yang belajar kepada sahabat seperti Mujahid,
Ikrimah dan Said bin Zubair, (3) riwayat itu harus dikuatkan oleh hadis mursal
lainnya.[11] Dengan demikian
bahwa setiap riwayat asbab al-nuzul yang diterima dari sahabat dapat diterima
sebagai pegangan, namun kalau yang datang dari tabi'in atau masa
sesudahnya harus melalui seleksi yang amat ketat.
D. FUNGSI ASBAB AL-NUZUL
Dalam berbagai penafsiran
al-Qur'an
timbul berbagai kecurangan,
ada yang meninggalkan asbab al-nuzul yang
menafsirkan al-Qur'an berdasar pada kata-kata, atau dengan ilmu-ilmu tertentu. Al-Wahidi dan para ulama lainnya
menolak anggapan ini. Bahkan
al-Wahidi mengatakan bahwa tidak
mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa
mengetahui sejarah dan penjelasan turunnya.[12] Al-Shabuni lebih tegas lagi, ia
mengatakan bahwa menguatkan kepentingan mengetahui asbab al-nuzul untuk dapat memahami makna-makna ayat al-Qur'an, bahkan sebagian ayat-ayat tidak mungkin dapat dipahami atau mengetahui hukum-hukum yang dikandungnya tanpa dengan sinaran asbab al-nuzul.[13] Adapun
fungsi-fungsi asbab al-nuzul menurut al-Zarqani[14] adalah:
1.
Membantu memahami ayat dan menghilangkan kesulitan yang
mungkin timbul.
Seperi kasus Marwan bin Hakam (salah seorang
Khalifah Bani Umayyah) yang mengalami
kesulitan dalam memahami firman Allah Surat Ali Imran (3): 188:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas
dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.
Marwan mengatakan, jika
orang yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan
apa yang tidak dilakukannya akan siksa, maka kita semua akan
disiksa. Dia tetap dalam kesulitannya itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa
ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi. Ketika Nabi SAW menanyakan
sesuatu kepada mereka, mereka merahasiakan jawabannya, dan memberi jawaban yang
tidak sebenarnya. Setelah mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian
dari beliau atas jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan
menyembunyikan yang sebenarnya. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat di
atas.
Contoh lainnya, sekiranya
tidak ada penjelasan mengenai asbab al-nuzul, mungkin sampai sekarang ini
masih saja ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang
memabukkan berdasarkan bunyi harfiah surat AlMaidah (5):93 :
Tidaklah ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan
dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap
juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Diriwayatkan, Usman bin Madzghun dan Amr bin Ma'ad,
keduanya mengatakan: Khamar adalah mubah (halal). Mereka menggunakan ayat tersebut
di atas sebagai dalil. Mereka
tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang melarang minuman keras. Padahal
yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hasan:
Setelah ayat yang mengharamkan khamar turun, mereka bertanya: ”Lantas
bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi
khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr itu perbuatan keji dan
dosa. “Tak lama kemudian turunlah ayat
di atas.” [15]
2.
Menghindari kesan adanya pembatasan secara mutlak dalam suatu ayat.
Sebagai
contoh adalah pemahaman surat Al-An'am (6): 145:
قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما
على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقا أهل
لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih aatas nama selain
Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampawi batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Menurut
lahirnya ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan Allah hanyalah
bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih karena selain
Allah. Tetapi al-Syafi'i berpendapat bahwa ayat itu tidak bermaksud memberi
pembatasan yang mutlak seperti itu. Dia berpendapat bahwa ayat itu diturunkan
karena orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka
menghalalkan apa yang diharamkanNya, untuk menunjukkan keinginan mereka kepada Allah dan RasulNya. Kemudian ayat itu diturunkan dengan memberi pembatasan formal sebagai jawaban yang tegas terhadap
sikap ingkar mereka itu.
3. Mengetahui hikmah yang
terkandung dalam hukum yang disyariatkan oleh agama.
Bagi yang berpendapat bahwa
yang dipertimbangkan dalam memberlakukan ketentuan ayat dalam kekhususan sebab bukan keumuman
ayat-ayatnya, sebab al-nuzul berguna untuk mengkhususkan berlakunya ketentuan ayat tersebut pada orang yang menjadi latar belakang turunnya. Seperti ayat-ayat dhihar di permulaan
surat Al-Mujadalah. Ayat-ayat itu diturunkan karena Aus bin al-Shamit mendhihar
interinya, Khaulah binti Hakim. Menurut pendapat ini, ketentuan ayat itu hanya berlaku bagi dua orang suami istri
itu saja. Sedang hukum bagi lainnya ditentukan
dengan dalil lain dengan jalan qiyas atau jalan
lain.
4.
Untuk mengetahui bahwa ketentuan ayat tetap berlaku bagi orang yang menjadi latar belakang turunnya, meskipun ayat itu ada pentakhsisnya.
Hal ini karena adanya ijma' bahwa hukum yamg ditetapkan
atas orang yang menjadi sebab
ditetapkan hukum itu, tetap berlaku baginya. Dan apabila ada pentakhsis, maka pentakhsisan itu berlaku bagi selainnya.
5.
Mengetahui secara pasti orang yang menjadi latar belakang
turunnya ayat, sehingga tidak merasa sulit dan salah sangka dapat terhindari.
Seperti, `Aisyah membantah
Marwan yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara istri Nabi) adalah orang yang menjadi
sebab turunnya firman Allah dalam surat Al-Ahqaaf
(46):17
Dan orang-orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan
kapadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah
berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon
pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah
adalah benar. Lalu dia berkata:
Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu kala.
Dan dia
mengatakan: "Demi Allah, bukanlah dia yang berkata begitu. Jika aku mau
menyebutkannya, tentu aku bisa menyebutkannya"
6. Memudahkan menghafal dan memahami
wahyu serta memantapkan di dalam dada orang yang mendengar ayat, jika ia mengetahui asbab al-nuzulnya.
Hal itu karena adanya hubungan sebab dengan akibat, ketentuan hukum dengan
peristiwa, peristiwa dengan orang, dan waktu dengan tempat. Semua itu menyebabkan terkesannya
segala hal dalam hati. Dari berbagai fungsi
asbab al-nuzul yang dikemukakan oleh
al-Zarqani tersebut hanya dua yang berhubungan langsung dengan penafsiran al-Qur'an, yaitu yang pertama
dan ketiga. Sedangkan yang lainnya
berhubungan dengan jiwa yang mengetahui asbab al-nuzul, penerapan ayat dan pelaku peristiwa asbab
al-nuzul.
Para ulama ushul berbeda pendapat
tentang, apakah yang dijadikan pegangan keumuman kata-kata atau kekhususan sebab? Artinya
apabila ada sesuatu kejadian turun ayat
tentang itu, apakah hukum ayat ini terbatas pada kejadian itu, atau
seseorang yang karena diturunkan ayat-atau hukum itu meliputi semua umat manusia?[16]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang menjadi pegangan ialah ungkapan
keumuman lafadz bukan kekhususan sebab. Inilah pendapat yang shahih dan di lain fihak ada
yang berpendapat bahwa[17] :
العبرة بخصوص السبب لا
بعموم اللفظ
“Yang
menjadi pegangan ialah ungkapan kekhususan sebab bukan keumaman lafadz”
Dalam penggunaan kaidah di atas, para ulama memberi argumen, yaitu
- Hanya kata-kata yang digunakan
Syari’ (Allah dan RasulNya) sajalah yang menjadi hujjah dan dalil, bukan pernyataan dan
sebab nuzulnya kata-kata itu
- Pada dasarnya
kata-kata itu harus diartikan menurut arti yang bisa langsung dimengerti oleh kata-kata itu,
selama tidak ada sesuatu yang mengalihkan
dari arti itu. Kata-kata yang terdapat dalam al-Qur'an tidak ada
yang membelokkannya dari arti umumnya, karenanya harus tetap diartikan menurut arti umumnya itu
- Para sahabat
dan para mujtahid di sepanjang masa dan di segala tempat hanya berpegang
pada keumuman kata-kata, tanpa menggunakan qiyas atau dalil lainnya.[18]
Kalau kita
berangkat dari asbab al-nuzul dalam arti `am, maka semua ayat ada asbab al-nuzulnya. Kalau
istilah Fazlur Rahman disebut harus dipahami "konteks historis"
setiap memahami dan menafsirkannya. Dengan demikian masa Nabi itu sudah
merupakan miniatur dari kehidupan di alam semesta ini, sedangkan kalau kita
melihat dari pengertian asbab al-nuzulnya. Di samping itu pula pengetahuan asbab al-nuzul dalam
penafsiran al-Qur'an bagaimanapun besar artinya, bahkan ada sebagian ayat
yang secara mutlak harus mengetahui asbab al-nuzulnya.
E. KAIDAH-KAIDAH: RIWAYAT ASBAB AL-NUZUL
Kenyataannya bahwa dalam periwayatan asbab al-nuzul
ada beberapa riwayat yang
menyebutkan peristiwa-peristiwa yang berbeda tetapi dikatakan sama menjadi asbab al-nuzul dalam arti khas. Hal
ini membawa perbedaan pendapat.
Pertama,
yang memandangnya sebagai kerancuan dalam riwayat-riwayat asbab al-nuzul,
kedua, yang menganggapnya sebagai hal biasa dan mencarikan jalan keluar. Yang berpendapat
pertama, seperti Fazlur Rahman dan alThabathaba'i. Faz1ur[19] mengatakan bahwa literatur tentang
turunnya wahyu sering bertentangan dan rancu. Al-thabathaba'i[20] mengatakan bahwa dalam riwayat-riwayat
asbab al-nuzul terdapat banyak pertentangan yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dikompromikan dengan jalan apapun.
Sedangkan yang berpandangan kedua, seperti
al-Zarkasyi dan al-Suyuthi dari abad pertengahan dan al-Zarkasyi dan Subh Shalih
dari ulama abad modern. Dalam hal ini mereka mentarjihkan atau mengkompromikan
berbagai riwayat yang berbeda-beda itu.
1.
Jika ada dua rwayat yang satu shahih dan yang lainnya
dha'if, maka yang
digunakan ialah yang shahih dan yang dha'if ditolak.
Seperti ada dua riwayat asbab al-nuzul turunnya QS Dhuha (93): 1-5:
والضحى والليل إذا سجى ما ودعك ربك وما قلى وللآخرة خير لك من الأولى ولسوف
يعطيك ربك فترضى
Demi matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan
tiada (pula) benci kepadamu dan sesungguhnya akhir itu lebih balk bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan
karunia Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas.
Riwayat pertama dari Imam Bukhari dan Muslim dari
Jundub, pada suatu saat Rasulullah merasa gelisah sehingga beliau tidak bersembahyang malam (shalat nafilah atau
shalat sunah) selama satu atau dua malam. Hal itu diketahui oleh seorang perempuan, lalu ia berkata pada
beliau: "Hai Muhammad, kurasa temanmu (syaithanaka) telah meninggalkan dirimu."
Lalu turunlah ayat tersebut di atas.
Riwayat kedua, dari rwayat
at-Thabrani, Ibnu AN Syaibah dan al-Wahidi dari Khaulah, pelayan Rasul. Bahwa ada seekor anak
anjing yang masuk kedalam rumah beliau dan
mati di bawah tempat tidur, kemudian selama empat hari tidak turun wahyu. Maka Rasul bersabda: "Hai
Khaulah, apa yang terjadi di rumah ini. Jibril tidak datang kepadaku. Aku berkata dalam hati, coba kubersihkan
rumah dan menyapunya. Aku mengambil
sapu dan membersihkan kolong tempat tidur dan menemukan anak anjing itu. Rasulullah
melihatnya dan terperanjat karena jijik. Sejak itu tiap beliau di tempat
tersebut tampak gelisah. Kemudian
Allah menurunkan ayat tersebut di
atas.
Ibnu Hajar berpendapat
bahwa cerita terlambatnya kedatangan Jibril karena adanya anjing itu
masyhur. Tapi janggal kalau menjadi sebab turunnya ayat di atas itu bahkan merupakan riwayat yang
syaz dan dibantah oleh riwayat Imam
Bukhari dan Imam Muslim di atas.[22] Subh Shalih berpendapat
bahwa riwayat
yang kedua terasa mengandung kelemahan, susunan kalimat maupun maknanya terasa janggal dan
aneh.[23]
2.
Dua riwayat sama-sama shahih dan salah satunya lebih rajih
dari pada yang lain, maka yang dipegangi adalah riwayat yang rajih dan yang marjuh ditinggalkan.
Hal-hal yang bisa menjadikan
satu riwayat lebih rajih
antara lain ialah nilainya yang lebih
shahih dan salah satu dari dua riwayat itu perawinya menyaksikan jalannya peristiwa dan yang lain
tidak. Sebagai contoh dua asbab al-nuzul
tentang turunnya firman Allah surat Al-Isra' (17):85:
ويسألونك
عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قليلا
Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah
"Roh itu termasuk urusan
Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
Riwayat pertama, dari Imam Bukhari yang mengambil
dari Ibnu Mas'ud berkata: Saya berjalan jalan bersama
Nabi di Madinah. Kami beristirahat dan Nabi
duduk bersandar pada pohon kurma. Sekelompok
orang Yahudi lewat dan meminta
beliau menjelaskan masalah roh. Maka beliau berdiri dan mengangkat kepala. Saya tahu bahwa wahyu sedang diturunkan
kepadanya. Kemudian beliau membaca
ayat tersebut di atas. Riwayat kedua dari Imam Turmudzi dan dia
menshahihkannya dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa sekelompok orang-orang musyrikin Quraisy berkata kepada
sekelompok orang-orang Yahudi. Berikanlah sesuatu kepada kami untuk kami
tanyakan kepada orang itu (Rasulullah). Orang-orang Yahudi itu menjawab:
Tanyakanlah kepadanya soal roh. Orang-orang Quraisy itu lalu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian
turunlah firman di atas. Menurut Ibnu
Katsir, kedua riwayat ini dapat dikompromikan. Keduanya samasama menjelaskan asbab al-nuzul, tapi berhubung
jarak waktunya berjauhan, maka bentuk komprominya adalah bahwa ayat itu
diturunkan dua kali. Sedang menurut al-Suyuthi bahwa riwayat yang pertama lebih
rajih, sebab perawi Ibnu Mas'ud
menyaksikan jalannya peristiwa, sedangkan perawi riwayat kedua (Ibnu Abbas) tidak menyaksikannya.[24]
Bandingkan dengan pendapat al-Shabuni.[25]
Subh Shalih menambahkan bahwa Jumhur Ulama
lebih mengutamakan hadis-hadis Shahih Bukhari dari pada hadia-hadis Shahih
yang diriwayatkan oleh Turmudzi.[26]
3.
Dua riwayat
sama-sama shahih dan tidak dapat dirajihkan salah satunya, tetapi dapat dikompromikan dengan jalan bahwa dua riwayat itu
sama-sama menjelaskan asbab al-nuzul dan ayat tersebut diturunkan setelah dua
peristiwa yang disebutkan terjadi.
Seperti dua
riwayat asbab al-nuzul bagi firman Allah surat Ali Imran (3) : 77:
Sesungguhnya
orang-orang yang menukar janji Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak
mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan
Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak
(pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.
Riwayat pertama, Imam Bukhari dan Muslim dari Asy'ats yang mengatakan bahwa ia bersengketa
dengan seorang Yahudi mengenai sebidang tanah. Setelah perkara dimajukan kepada Nabi dan beliau
menanyakan, apakah Asy'ats
mempunyai bukti dan dijawab tidak, maka beliau menyuruh lawannya untuk bersumpah. Tapi Asy'ats
keberatan. Dia beralasan, bila lawannya itu bersumpah, maka sumpahnya adalah sumpah palsu dan
akibatnya hak milik Asy'ats bisa hilang. Kemudian Allah
menurunkan ayat di atas. Riwayat kedua, yaitu Imam Bukhari dari Abdullah bin Abi Auf yang mengatakan bahwa ada orang yang memegang
barang milik orang lain di pasar. Dia bersumpah bahwa barang itu telah
diberikan pemiliknya kepadanya. Dia
mengaku demikian untuk merugikan seorang muslim. Kemudian turunlah ayat di atas.
4. Dua riwayat sama-sama shahih, tetapi tidak ada
perajihnya. Dan berhubung
peristiwa masing-masing berjauhan waktunya, maka kita dapat menjadikan asbab al-nuzul secara
bersama-sama. Oleh karena itu diputuskan bahwa ayat itu diturunkan berulang-ulang setelah
peritiwa-peristiwa yang disebutkan
terjadi.
Seperti asbab al-nuzul firman Allah surat An-Nahl
(16): 126-128:
وإن
عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين واصبر وما صبرك إلا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون إن
الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون
Dan
jika kamu memberi balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.
Akan tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih balk bagi orang-orang yang benar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa dan orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Riwayat pertama, yaitu riwayat Imam Baihaqy dan al-Bazzar dari Abu Hurairah yang menceriterakan, ketika Hamzah
ditemukan wafat sebagai
syahid dalam perang uhud.
Nabi berdiri di depan jenazahnya dalam keadaan jenazahnya sudah dicincang dan di saat itu beliau berucap, akan membalas dengan tujuh puluh orang kafir. Kemudian Jibril turun membawa ayat di atas. Riwayat
kedua yaitu riwayat Imam Turmudzi dai al-Hakim dari Ubay bin Ka'ab. Dia menceriterakan setelah dalam perang
uhud ada 64 sahabat Anshar dan 6
Muhajirin yang gugur, di antaranya adalah Hamzah, maka para sahabat bersumpah untuk membalas dendam. Para sahabat Anshar
berkata: Jika pada suatu saat kami menang, maka akan kami hancurkan
mereka. Kemudian setelah Makkah jatuh
ke tangan muslimin, Allah menurunkan ayat di atas. Kedua riwayat di atas, yang
pertama menyebutkan bahwa ayat-ayat
tersebut diturunkan di perang uhud dan
yang kedua berhubungan dengan jatuhnya kota
Makkah ke tangan kaum muslimin. Karena
itu banyak ulama mengatakan bahwa ayat-ayat
itu diturunkan dua kali setelah dua peristiwa di atas. Bahkan Ibnu Hashar (perlu dicheck) menyatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan tiga kali, di
Makkah bersama-sama dengan ayat-ayat
surat An-Nahl yang lain yang diturunkan di kota ini, di Uhud setelah perang dan pada waktu penaklukan
kota Makkah untuk memberikan peringatan kepada hamba-hambanya.[27]28
Empat cara itulah yang ditempuh oleh mufassir yang
memakai asbab alnuzul sebagai hal yang harus ada dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an yang sedang ditafsirkan.
Perlu ditegaskan bahwa dalam pemakaian asbab al-nuzul sebenarnya bukanlah harfiah
asbab al-nuzulnya yang dijadikan pertimbangan, tetapi harus dilihat nilai
yang terkandung di dalamnya.
F. KESIMPULAN
Asbab al-nuzul harus tetap ada dalam penafsiran
al-Qur'an, baik asbab alnuzul dalam pengertian khas maupun dalam pengertian `am.
Pendapat tentang asbab al-nuzul tidak dapat diterima dengan ijtihad atau pemikiran mufassir,
tetapi haruslah melalui riwayat yang ketat dan shahih.
Asbab al-nuzul sangat membantu mufassir atau yang
berkecimpung dalam al-Qur'an untuk dapat mempermudah dalam berbagai hal yang
berhubungan dengan al-Qur'an. Namun tidaklah setiap ayat al-Qur'an ada asbab al-nuzul
dalam pengertian
khas.
Yogyakarta, 14
September 2008
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Yatasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, Departemen Agama,
Bumirestu, Jakarta, 1974.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, The University of Chicago Press, Chicago & London, 1978.
-------------, Islam, Ahsin Muhammad
(penterjemah), Pustaka, Bandung, 1984.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, Dar al-Qur'an al-Karim, Kuwait, 1971.
Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, Musthafa al-Bab al-Halabi,
1979.
---------------,
Lubaab al-Nuquul fi Asbab
al-Nuzul, Maktab al-Riyadh alHaditsah, Riyadh, tt.
Shabuni, al-Thibyaan fi Ulum al-Qur'an, Alam al-Kutub, Beirut,
1985.
Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Fai ul Kabir fi Ushul al-Tafsir dalam Irsyad alRaghibin, Idarat al-Thiba'ah al-Muniriyah,
Up. tt.
Thabathaba'i, al-Qur'an fii Islam, Markaz `llam al-Dzikra a1-Khamisah, Teheran, 1404 H.
Subh Shalih, Mabahits fi Uluum al-Qur'an, Dar al-Ilmi lit Malayin, Beirut, Beirut, 1977.
Wahidi, Asbab al-Nuzul, Musthafa
al-Bab al-Halabi, Mesir, 1968.
Zarkasyi,
al-Burhaan.fi Ulum
al-Qur'an, Dar al-Ihya, Mesir,
1957.
[1] Zarkasyi, al, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, Dar al-Ihya, Mesir, 1957, hal. 22.
[4] Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, The University of
Chicago Press, Chicago & London,
1978, hal. 15.
[5] Zarkasyi, Op. cit., hal.31-32.
[10] Suyuthi, Op.cit., hal.31.
[13] Shabuni al, Op. cit., hal.19.
[14] Zarqany al, Op. cit., hal.109-114.
[15] Zarkasyi, Op. cit., hal. 28.
[17] Ibid.
[18] Zarqony, Op. cit., hal. 127-129.
[19]Faziur Rahman, Islam and
Modernity, The University of
Chicago Press, Chicago & London,
1978, hal.17.
[20]Thabathaba'i, al-Qur'an fii Islam, Markaz `lil am al-Dzikra al-Khamisah, Teheran,
Tahun 1404 H, hal. 254.
[21] Zarkasyi, Op. cit.,
hal.116-119.
[22] Suyuthi, Op. cit., hal. 238.
[23] Subh Shalih, Mabahits
fi Ulum al-Our'an, Dar al-ma’arif lil Malayin, Beirut, Beirut, 1977, hal. 147.
[26] Subh
Shalih al, Op. cit, hal.146.
[27] Sayuthi al, Op.cit., hal. 138.
No comments:
Post a Comment